Home - Photo - Blogger

Subscribe: Posts Subscribe to Revolution ChurchComments

Kamis, Mei 28, 2009

Eksportir kakao sulit penuhi SNI

MAKASSAR: Kalangan eksportir kakao di Sulawesi Selatan mengalami kesulitan memenuhi ketentuan Standar Nasional Indonesia (SNI). “SNI baru bisa diterapkan bila produtivitas tanaman kakao berhasil ditingkatkan,” kata Ketua Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) Sulsel Yusa R. Ali di Makassar, Rabu.

Yusa mengatakan salah satu yang diatur dalam SNI, yaitu kakao yang diekspor harus difermentasi. Dia mengatakan fermentasi kakao hanya memberi sedikit pengaruh terhadap harga di pasar internasional.

“Fermentasi hanya salah satu spesifikasi mutu. Ada beberapa faktor lain yang menentukan harga kakao seperti besar biji, kadar lemak, serta kandungan air dan jamur. Fermentasi bukan segalanya,” jelasnya. Dia mengatakan fermentasi merupakan bagian dari penanganan pascapanen kakao. Bila produksi berhasil digenjot sesuai sasaran, perlakuan tersebut baru bisa dilakukan.

Dia menyebut antara 2008 hingga 2009 produksi kakao Sulsel menurun hingga 15%. Jika produksi kakao sedikit, fermentasi sulit diterapkan. "Apalagi tidak semua industri membutuhkan kakao yang telah difermentasi. Itu tergantung permintaan pasar," katanya.

Yusa menuturkan ada beberapa produk olahan biji coklat yang memerlukan bahan baku kakao fermentasi seperti bubuk cocoa. "Tetapi kalau membutuhkan rasa natural, tidak perlu kakao berfermentasi," terangnya. Mengenai perbedaan harga dengan Pantai Gading dan Ghana yang lebih tinggi US$150-200 per ton, Yusa mengatakan bukan semata karena kakao dari negara Afrika itu telah difermentasi sedangkan Sulsel belum.

“Harga kakao dari Pantai Gading dan Ghana lebih mahal sebab kualitas biji kakaonya lebih baik.” Berdasarkan data April 2009, biji kakao dihargai sekitar Rp26.000 per kg, turun dari tahun lalu mencapai Rp35.000 per kg.

Sekretaris Askindo Sulsel Dakhri Sanusi mengemukakan penurunan harga sebagai dampak krisis global yang melanda negara importir.