Home - Photo - Blogger

Subscribe: Posts Subscribe to Revolution ChurchComments

Rabu, Februari 25, 2009

Kakao Sulteng belum penuhi standar industri

PALU : Komoditas kakao di Sulawesi Tengah (Sulteng) dinilai belum memenuhi standar pengolahan industri karena tidak melalui proses fermentasi yang memadai. Akibatnya, produksi kakao daerah ini langsung diantarpulaukan karena tak ada investor berani menanamkan modal untuk industri pengolahan.

Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Sulteng Muhidin Said mengatakan kakao Sulteng yang hampir 100% masih asalan (non-fermentasi) harus dicampur dengan kakao asal Pantai Gading atau Ghana minimal 30%, baru bisa masuk pada industri pengolahan. “Kondisi inilah yang membuat investor enggan membangun industri pengolahan sebab sulit mencapai break even point (titik impas modal). Saya sendiri pernah mencoba, tapi perusahaan mitra menolak karena pertimbangan tersebut,” kata Muhidin dalam Business Gathering Dewan Pimpinan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sulteng di Palu, kemarin.

Muhiddin mengakui kualitas produksi kakao petani akan sangat menentukan harga di pasar. “Kami berharap ada upaya pe-ningkatan kualitas produksi, sebab petani akan memperoleh nilai tambah dari proses fermentasi itu,” ujarnya. Provinsi Sulteng membukukan ekspor kakao sebesar 120.000 ton pada 2008, menurun dibanding 2007 yang tercatat 124.000 ton. Hingga periode Februari 2009, jumlah ekspor kakao Sulteng yang keluar melalui Pelabuhan Pantoloan Palu mencapai 15.000 ton.

Muhidin menyayangkan potensi kakao Sulteng yang berlimpah tersebut belum terolah baik yang dapat memberi nilai tambah bagi masyarakat, terutama petani kakao di daerah itu. Padahal, lanjut dia, persoalannya hanya pada fermentasi yang membutuhkan tambahan 4-5 hari.
Menurutnya, pemerintah daerah mesti memotori gerakan fermentasi di tingkat petani sebab banyak efek domino yang diperoleh masyarakat jika kakao yang dihasilkan berkualitas bagus.

“Petani akan memperoleh tambahan harga jual kakao fermentasi sekitar Rp3.000 per kg dibanding kakao asalan. Industri akan tumbuh, tenaga kerja terserap, arus barang dan manusia juga pasti meningkat,” katanya. Muhidin menambahkan, pihaknya akan mendesak pemerintah melalui Menteri Perdagangan untuk mengeluarkan kebijakan pemberlakuan kuota ekspor kakao fermentasi.

Berbeda dengan pernyataan Muhidin, Bupati Parigimoutong Longky Djanggola mengatakan bahwa kualitas kakao Sulteng sebenarnya sudah meme-nuhi kualitas industri, namun masih ada sebagian yang belum melakukan proses fermentasi secara baik. Salah satu penyebab petani kakao Sulteng kurang memperhatikan kualitas produksinya karena lebih banyak mengejar target penjualan. “Kalau harga lagi baik mereka kurang memikirkan apakah perlu fermentasi atau tidak,” paparnya.

Longky mengatakan industri pengelolaan di Sulteng belum ada sehingga produksi kakao lebih banyak diantarpulaukan ke Makassar, Sulawesi Selatan, di mana ada sejumlah pusat industri pengolahan yang sudah berproduksi di Kawasan Industri Makassar (Kima). Dia menambahkan kebijakan kuota eks-por belum dapat diberlakukan sebab di tingkat petani sendiri belum siap dan jika dipaksakan justru dapat mematikan perdagangan kakao nasional.

Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah Masyarakat Agribisnis dan Agroindustri Indonesia (MAI) Sulteng, Didin, mengakui belum teraturnya gerakan fermentasi di tingkat petani. Kondisi ini membuat eks-portir membeli kakao fermentasi sama dengan harga kakao asalan sebab jumlahnya relatif kecil.
“Sebenarnya sudah ada petani yang mencoba fermentasi, tapi mereka menjadi malas karena harganya sama dengan kakao asalan,” ujar Didin.