Home - Photo - Blogger

Subscribe: Posts Subscribe to Revolution ChurchComments

Selasa, Februari 10, 2009

Omzet usaha pelayaran KTI turun 20%

MAKASSAR: Indonesian National Shipowne­­rs­ Association (INSA) Sulsel menyebut barang yang diangkut perusahaan pe­­layaran berbasis di kawa­s­an­ timur Indonesia (KTI) dalam beberapa bulan terakhir turun 20%. Penurunan tersebut a.l. di­­se­­­­­­babkan gempuran peru­­sahaan pelayaran dari wi­­la­­yah barat yang mulai me­­rambah bisnis pengang­kutan di KTI.

“Krisis global membuat perusahaan pelayaran yang selama ini mengangkut­ produk ekspor dan impor ban­ting setir ke bisnis domestik. Ini ancaman bagi ang­gota INSA yang mela-ya­ni KTI,” ungkap Sekretaris INSA Sulsel Hamka kepada Bisnis, kemarin. Hamka mengatakan pe­­nu­­runan mulai dirasakan ang­gota INSA Sulsel sejak kri­sis ekonomi global atau se­­kitar September 2008 hing­­­­ga sekarang.

Selama enam bulan ter­­se­but­, kata dia, perusa­haan pe­­layaran di Sulsel hanya me­­layani pengangkutan pe­­­ti­ kemas sebanyak 17.000 boks per bulan. Padahal, se­­belum krisis, INSA Sulsel yang beranggotakan 30 perusahaan mengangkut rerata 25.000 boks – 30.000 boks per bulan. Dia mengatakan penu-run­­an itu juga berimbas pada enam layanan lain­nya, yakni general­ cargo, curah, tan­ker, lepas pantai, kapal tong­kang, dan Landing Craft Tangker (LCT).

Akibat penurunan ter­sebut, katanya, banyak ka­­pal yang terpaksa mengha­­bis­kan waktu ber­­­labuh di Pe­­labuhan Soe­­­karno Hatta Ma­­kassar. INSA mencatat ada sekitar 120 kapal barang dari wilayah barat yang bermain di pengangkutan domestik di KTI. Selain itu bisnis pelayaran juga menghadapi permasa­lahan kurangnya transak­si antara pemilik dan pener­ima barang di daerah tujuan.

Hamka mengakui peru­­sahaan pelayaran meng­­ha­­dapi persoalan yang sangat dilematis. “Daerah yang selama ini menjadi tujuan terjadi pe­­nurunan konsumsi. Pemi­­­lik barang tidak menerima orderan dari daerah-daerah, sehingga kapal barang terpaksa parkir berhari-hari,” ucap dia. Hamka menambahkan pe­­­­­­­­­­nu­­runan call membuat bia­­­­­­ya operasional kapal mem­­­­­­­­­­­bengkak, terutama ta­­­­­­­­­rif berlabuh. Selama ber­­­la­­­buh atau parkir di dermaga Makassar, tutur dia, pemilik kapal ha­­­rus mengeluar­kan biaya se­­­besar Rp18 juta per hari.

Biaya itu untuk sembi­­lan­ item meliputi bia­­­­ya labuh, air tawar, san­­dar­, tunda, rambu, pandu, BBM solar, dan perawatan. Dia mengatakan jika berlabuh dalam seminggu maka biaya yang dikeluarkan sebesar Rp180 juta per kapal. Dari sembilan item tersebut, pembelian BBM yang paling besar menyedot dana operasional sebesar 45%. Dia khawatir kondisi tersebut mengancam bisnis pelayaran.