MAKASSAR: Indonesian National Shipowners Association (INSA) Sulsel menyebut barang yang diangkut perusahaan pelayaran berbasis di kawasan timur Indonesia (KTI) dalam beberapa bulan terakhir turun 20%. Penurunan tersebut a.l. disebabkan gempuran perusahaan pelayaran dari wilayah barat yang mulai merambah bisnis pengangkutan di KTI.
“Krisis global membuat perusahaan pelayaran yang selama ini mengangkut produk ekspor dan impor banting setir ke bisnis domestik. Ini ancaman bagi anggota INSA yang mela-yani KTI,” ungkap Sekretaris INSA Sulsel Hamka kepada Bisnis, kemarin. Hamka mengatakan penurunan mulai dirasakan anggota INSA Sulsel sejak krisis ekonomi global atau sekitar September 2008 hingga sekarang.
Selama enam bulan tersebut, kata dia, perusahaan pelayaran di Sulsel hanya melayani pengangkutan peti kemas sebanyak 17.000 boks per bulan. Padahal, sebelum krisis, INSA Sulsel yang beranggotakan 30 perusahaan mengangkut rerata 25.000 boks – 30.000 boks per bulan. Dia mengatakan penu-runan itu juga berimbas pada enam layanan lainnya, yakni general cargo, curah, tanker, lepas pantai, kapal tongkang, dan Landing Craft Tangker (LCT).
Akibat penurunan tersebut, katanya, banyak kapal yang terpaksa menghabiskan waktu berlabuh di Pelabuhan Soekarno Hatta Makassar. INSA mencatat ada sekitar 120 kapal barang dari wilayah barat yang bermain di pengangkutan domestik di KTI. Selain itu bisnis pelayaran juga menghadapi permasalahan kurangnya transaksi antara pemilik dan penerima barang di daerah tujuan.
Hamka mengakui perusahaan pelayaran menghadapi persoalan yang sangat dilematis. “Daerah yang selama ini menjadi tujuan terjadi penurunan konsumsi. Pemilik barang tidak menerima orderan dari daerah-daerah, sehingga kapal barang terpaksa parkir berhari-hari,” ucap dia. Hamka menambahkan penurunan call membuat biaya operasional kapal membengkak, terutama tarif berlabuh. Selama berlabuh atau parkir di dermaga Makassar, tutur dia, pemilik kapal harus mengeluarkan biaya sebesar Rp18 juta per hari.
Biaya itu untuk sembilan item meliputi biaya labuh, air tawar, sandar, tunda, rambu, pandu, BBM solar, dan perawatan. Dia mengatakan jika berlabuh dalam seminggu maka biaya yang dikeluarkan sebesar Rp180 juta per kapal. Dari sembilan item tersebut, pembelian BBM yang paling besar menyedot dana operasional sebesar 45%. Dia khawatir kondisi tersebut mengancam bisnis pelayaran.
“Krisis global membuat perusahaan pelayaran yang selama ini mengangkut produk ekspor dan impor banting setir ke bisnis domestik. Ini ancaman bagi anggota INSA yang mela-yani KTI,” ungkap Sekretaris INSA Sulsel Hamka kepada Bisnis, kemarin. Hamka mengatakan penurunan mulai dirasakan anggota INSA Sulsel sejak krisis ekonomi global atau sekitar September 2008 hingga sekarang.
Selama enam bulan tersebut, kata dia, perusahaan pelayaran di Sulsel hanya melayani pengangkutan peti kemas sebanyak 17.000 boks per bulan. Padahal, sebelum krisis, INSA Sulsel yang beranggotakan 30 perusahaan mengangkut rerata 25.000 boks – 30.000 boks per bulan. Dia mengatakan penu-runan itu juga berimbas pada enam layanan lainnya, yakni general cargo, curah, tanker, lepas pantai, kapal tongkang, dan Landing Craft Tangker (LCT).
Akibat penurunan tersebut, katanya, banyak kapal yang terpaksa menghabiskan waktu berlabuh di Pelabuhan Soekarno Hatta Makassar. INSA mencatat ada sekitar 120 kapal barang dari wilayah barat yang bermain di pengangkutan domestik di KTI. Selain itu bisnis pelayaran juga menghadapi permasalahan kurangnya transaksi antara pemilik dan penerima barang di daerah tujuan.
Hamka mengakui perusahaan pelayaran menghadapi persoalan yang sangat dilematis. “Daerah yang selama ini menjadi tujuan terjadi penurunan konsumsi. Pemilik barang tidak menerima orderan dari daerah-daerah, sehingga kapal barang terpaksa parkir berhari-hari,” ucap dia. Hamka menambahkan penurunan call membuat biaya operasional kapal membengkak, terutama tarif berlabuh. Selama berlabuh atau parkir di dermaga Makassar, tutur dia, pemilik kapal harus mengeluarkan biaya sebesar Rp18 juta per hari.
Biaya itu untuk sembilan item meliputi biaya labuh, air tawar, sandar, tunda, rambu, pandu, BBM solar, dan perawatan. Dia mengatakan jika berlabuh dalam seminggu maka biaya yang dikeluarkan sebesar Rp180 juta per kapal. Dari sembilan item tersebut, pembelian BBM yang paling besar menyedot dana operasional sebesar 45%. Dia khawatir kondisi tersebut mengancam bisnis pelayaran.